Perang Perbatasan Thailand-Kamboja 2025: Sengketa Kuil Hindu dan Eskalasi Konflik
79percentclock.com - Perang lagi guys, perang lagi! Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang meletus pada 24 Juli 2025 telah menarik perhatian dunia karena eskalasinya yang cepat, melibatkan baku tembak, serangan udara, dan korban jiwa. Ketegangan ini berpusat pada sengketa wilayah di sekitar kuil Hindu kuno, terutama Kuil Preah Vihear dan Ta Muen Thom, yang telah lama menjadi sumber perselisihan antara kedua negara.
![]() |
Kuil Hindu Preah Vihear |
Asal Mula Konflik: Sengketa Kuil Hindu Preah Vihear
Konflik antara Thailand dan Kamboja berakar dari penetapan batas wilayah oleh Prancis pada 1907, saat Kamboja masih menjadi koloni Prancis. Peta yang dibuat saat itu menempatkan Kuil Preah Vihear, sebuah kuil Hindu abad ke-11 yang didedikasikan untuk dewa Siwa, di wilayah Kamboja. Namun, Thailand tidak sepenuhnya menerima peta tersebut, menganggapnya tidak akurat dan tidak mengikat secara hukum. Kuil ini, yang terletak di Pegunungan Dangrek, merupakan simbol budaya dan kebanggaan nasional bagi kedua negara. Bagi Kamboja, kuil ini adalah warisan peradaban Khmer, sementara Thailand mengklaim akses lebih mudah dari sisi perbatasannya.
Pada 1962, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan bahwa Kuil Preah Vihear secara resmi milik Kamboja, sebuah keputusan yang diterima dengan protes oleh Thailand. Ketegangan semakin memuncak pada 2008 ketika Kamboja berhasil mendaftarkan kuil ini sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, memicu kemarahan nasionalis Thailand. Selain Preah Vihear, Kuil Ta Muen Thom, yang juga terletak di wilayah sengketa, turut menjadi pemicu konflik. Sengketa ini diperparah oleh sentimen nasionalis di kedua negara, yang sering dimanfaatkan oleh media dan politisi untuk memanaskan situasi.
Seiring menurunnya budaya Hindu di kawasan ini, situs tersebut dialihfungsikan oleh pemerintah Kamboja untuk digunakan oleh umat Buddha.
Skandal Politik: Bocornya Pembicaraan Rahasia Perdana Menteri Thailand
Ketegangan politik di Thailand memainkan peran penting dalam eskalasi konflik. Pada 15 Juni 2025, sebuah rekaman percakapan telepon antara Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra dan mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen bocor ke publik. Dalam rekaman tersebut, Paetongtarn memanggil Hun Sen dengan sebutan “paman” dan tampak mengkritik pimpinan militer Thailand, serta menawarkan bantuan pribadi untuk meredakan ketegangan perbatasan. Bocoran ini, yang awalnya hanya sebagian dan kemudian dipublikasikan secara utuh oleh Hun Sen sendiri, memicu kemarahan publik di Thailand. Paetongtarn dianggap terlalu lunak terhadap Kamboja dan menghina militer negaranya.
Akibat skandal ini, pada 1 Juli 2025, Mahkamah Konstitusi Thailand menangguhkan Paetongtarn dari jabatannya karena dugaan pelanggaran etika. Penangguhan ini melemahkan pemerintahan koalisi Thailand yang sudah rapuh, meningkatkan ketegangan politik dalam negeri, dan memperburuk hubungan dengan Kamboja. Phumtham Wechayachai, mantan Menteri Pertahanan, ditunjuk sebagai penjabat Perdana Menteri sementara, namun pemerintahannya kesulitan menunjukkan sikap tegas tanpa memicu eskalasi lebih lanjut.
Insiden Ranjau Darat: Pemicu Eskalasi
Konflik bersenjata terbaru dipicu oleh dua insiden ranjau darat yang melukai tentara Thailand di wilayah sengketa. Insiden pertama terjadi pada 16 Juli 2025, ketika tiga tentara Thailand terluka akibat ledakan ranjau darat saat berpatroli di wilayah perbatasan. Salah satu tentara kehilangan kaki akibat ledakan tersebut. Thailand menuduh Kamboja sengaja menanam ranjau, sementara Kamboja membantah, mengklaim bahwa ranjau tersebut adalah sisa perang saudara Kamboja yang belum dibersihkan.
Insiden kedua, yang terjadi pada 23 Juli 2025 di Distrik Nam Yuen, Provinsi Ubon Ratchathani, semakin memanaskan situasi. Ledakan ranjau darat melukai lima personel Batalion Infanteri ke-14 Thailand. Satu tentara kehilangan kaki kanannya, sementara empat lainnya menderita luka akibat gelombang kejut, termasuk sesak dada dan tinnitus. Thailand menuduh Kamboja melanggar Traktat Ottawa tentang larangan ranjau darat, sementara Kamboja bersikeras bahwa ranjau tersebut berasal dari konflik masa lalu dan ledakan terjadi di wilayah mereka karena pelanggaran patroli oleh Thailand. Insiden ini memicu respons keras dari Thailand, termasuk penarikan duta besar dari Phnom Penh dan pengusiran duta besar Kamboja dari Bangkok.
Eskalasi Konflik pada 24 Juli 2025
Pada pagi hari 24 Juli 2025, bentrokan bersenjata pecah di beberapa titik perbatasan, terutama di sekitar Kuil Ta Muen Thom di Provinsi Surin (Thailand) dan Oddar Meanchey (Kamboja). Thailand mengklaim bahwa Kamboja memulai tembakan setelah mengerahkan drone pengintai dan pasukan bersenjata berat, termasuk peluncur roket. Kamboja, sebaliknya, menuduh Thailand melakukan agresi dengan memasuki wilayah mereka dan memicu konflik. Pertempuran melibatkan artileri berat, roket BM-21 dari Kamboja, dan serangan udara oleh jet tempur F-16 Thailand, yang menjatuhkan bom ke posisi militer Kamboja.
Konflik ini menyebabkan korban jiwa yang signifikan. Thailand melaporkan 14 warga sipil dan satu tentara tewas, dengan 14 tentara dan 32 warga sipil terluka. Di Kamboja, setidaknya satu warga sipil tewas dan empat lainnya terluka, dengan 4.000 warga dievakuasi dari zona konflik. Serangan roket Kamboja dilaporkan menghantam pemukiman sipil di Provinsi Si Sa Ket, termasuk sebuah pom bensin, yang menyebabkan kematian enam orang, termasuk seorang anak laki-laki berusia delapan tahun. Thailand menuduh Kamboja melanggar Konvensi Jenewa dengan menargetkan warga sipil, sementara Kamboja menyebut serangan udara Thailand sebagai “agresi militer yang sembrono.
Menurut media Thailand, tembakan artileri Kamboja mengarah ke sekitar 10 lokasi di empat provinsi Thailand: Si Sa Ket, Buri Ram, Ubon Ratchathani, dan Surin.
Dampak dan Respons Internasional
Eskalasi ini memicu krisis kemanusiaan, dengan lebih dari 100.000 warga sipil Thailand dan 4.000 warga Kamboja mengungsi dari wilayah perbatasan. Thailand menutup sebagian besar pos perbatasan, membatasi perjalanan, dan melarang wisatawan mendekati zona konflik. Kamboja membalas dengan sanksi ekonomi, termasuk larangan impor buah, sayuran, bahan bakar, dan media Thailand, serta memutus pasokan listrik dan internet dari Thailand. Mereka mengalihkan sumber daya tersebut dengan mengimpornya dari Vietnam.
Kedua negara saling menarik duta besar dan mengusir diplomat sebagai respons atas ketegangan yang meningkat. Pada 23 Juli 2025, Thailand menarik Duta Besar Tull Traisorat dari Phnom Penh dan mengusir Duta Besar Kamboja, Hun Saroeun, dari Bangkok menyusul insiden ranjau darat yang melukai lima tentara Thailand. Kamboja membalas pada 24 Juli 2025 dengan menurunkan hubungan diplomatik ke tingkat terendah, menarik seluruh staf kedutaannya dari Bangkok, dan memerintahkan diplomat Thailand untuk meninggalkan Kamboja. Tindakan ini disertai dengan penutupan pos pemeriksaan perbatasan oleh Thailand, sementara Kamboja juga menutup beberapa pos perbatasan seperti Ban Jup Koki dan Chong Choum sebagai bentuk retaliasi.
Komunitas internasional, termasuk ASEAN, AS, Australia, Jepang, dan Selandia Baru, menyerukan gencatan senjata dan penyelesaian damai. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, selaku Ketua ASEAN 2025, berupaya memediasi dengan menghubungi kedua belah pihak. Kamboja menyatakan niat untuk membawa sengketa ini ke ICJ, sementara Thailand lebih memilih negosiasi bilateral, dengan syarat Kamboja menghentikan tindakan kekerasan.
Kesimpulan
Konflik perbatasan Thailand-Kamboja 2025 adalah puncak dari ketegangan yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad, dengan Kuil Preah Vihear dan Ta Muen Thom sebagai simbol utama perselisihan. Insiden ranjau darat, skandal politik Paetongtarn, dan sentimen nasionalis telah memperburuk situasi, menyebabkan korban jiwa dan krisis kemanusiaan. Meskipun kedua negara menyatakan keinginan untuk penyelesaian damai, kurangnya kepemimpinan yang kuat dan kepercayaan mutual menghambat deeskalasi. Komunitas internasional terus mendorong dialog, namun tanpa kompromi yang signifikan, konflik ini berpotensi berlarut-larut, mengancam stabilitas kawasan Asia Tenggara.