Apa Jadinya Jika Kekaisaran Mongol Tidak Terpecah Belai?
Kekaisaran Mongol, yang didirikan oleh Jenghis Khan pada awal abad ke-13, merupakan kekaisaran daratan terluas dalam sejarah manusia, membentang dari Samudra Pasifik di timur hingga Laut Mediterania dan Eropa Tengah di barat, meliputi wilayah seluas lebih dari 24 juta kilometer persegi pada puncaknya sekitar tahun 1260–1300.
Dalam waktu kurang dari satu abad, bangsa penggembala stepa yang sebelumnya terpecah-belah berhasil menaklukkan peradaban-peradaban maju seperti Dinasti Jin dan Song di Tiongkok, Khwarezmia di Asia Tengah, Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, serta menghancurkan kerajaan-kerajaan di Persia, Rusia, dan Eropa Timur, dengan strategi militer yang revolusioner: kavaleri ringan super cepat, panah komposit mematikan, psikologi teror yang disengaja, serta organisasi logistik dan komunikasi (yam) yang luar biasa efisien.
Kehebatan mereka tidak hanya terletak pada kekuatan penghancur, tapi juga pada kemampuan mengintegrasikan wilayah luas melalui toleransi agama yang relatif tinggi, perlindungan jalur perdagangan Sutra yang memicu pertukaran budaya dan teknologi antar benua, serta sistem administrasi yang memanfaatkan talenta dari berbagai bangsa yang ditaklukkan—semua itu menjadikan Kekaisaran Mongol sebagai salah satu fenomena paling mengagumkan dan berpengaruh dalam sejarah dunia.
Tetapi karena konflik internal dan perebutan kekuasaan, terjadi perpecahan dalam Kekaisaran Mongol, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan dan pelemahan bertahap, dan mengakhiri kekuasaan Mongol. Nah, apa jadinya jika Mongol tidak terpecah karena konflik berebut kekuasaan?
![]() |
| Puncak Kekuasaan Kekaisaran Mongol Tahun 1259 |
Pendahuluan: Ekspansi Setelah Kematian Genghis Khan
Setelah kematian Genghis Khan pada tahun 1227, Kekaisaran Mongol tidak mengalami kemunduran seperti yang sering terjadi pada kerajaan-kerajaan besar lainnya. Sebaliknya, di bawah kepemimpinan para penerusnya, kekaisaran ini justru mencapai ekspansi terbesarnya. Para khan agung (Khagan) berikutnya melanjutkan penaklukan dengan sukses, memperluas wilayah dari Asia Timur hingga Eropa Timur dan Timur Tengah.
Keturunan Genghis Khan
Jenghis Khan punya banyak sekali anak, tapi Hanya anak-anak dari istri utama (Börte) yang dianggap “resmi” dan berhak atas warisan besar. Dalam tradisi Mongol, anak-anak dari istri-istri selir atau gundik tidak mendapat bagian kekaisaran yang signifikan. Mereka biasanya hanya diberi beberapa ribu rumah tangga atau pasukan kecil.
Dari istri utama Börte lahir 4 putra + beberapa putri (sekitar 5–8 putri yang tercatat). Jadi hanya empat anak laki-laki dari istri utama (Börte) yang benar-benar populer dan penting secara politik, yaitu Jochi, Chagatai, Ogedei, dan Tolui. Itulah kenapa hampir semua buku sejarah hanya menyebut-nyebut empat nama ini.
Dari istri-istri resmi lainnya (ada 6–7 istri besar), ada belasan putra lagi, dan dari ratusan selir/gundik, bisa ratusan anak (tidak ada catatan pasti).
Puncak kejayaan ekspansi Mongol terjadi pada masa pemerintahan Kublai Khan (1260–1294), cucu Genghis Khan. Pada saat itu, kekaisaran mencapai wilayah terluasnya, mencakup sekitar 24 juta kilometer persegi—terbesar dalam sejarah sebagai kekaisaran daratan yang berkesinambungan. Wilayah ini membentang dari Laut Kuning (Korea dan Cina) di timur, hingga Sungai Danube dan Teluk Persia di barat, termasuk Siberia di utara dan sebagian anak benua India di selatan.
Urutan Khan Agung (Khagan) Sebelum Perpecahan Besar
Kekaisaran Mongol pada awalnya tetap bersatu di bawah satu Khagan yang memimpin seluruh wilayah, meskipun ada pembagian ulus (wilayah warisan) kepada putra-putra Genghis Khan. Berikut urutan lengkap Khagan resmi beserta masa wali (regent) yang memimpin:
- Genghis Khan (1206–1227) – Pendiri kekaisaran, menyatukan suku-suku Mongol dan memulai penaklukan besar.
- Tolui Khan (1227–1229) – putra bungsu Genghis, menjabat sebagai Wali Penguasa dari 1227 hingga 1229, sebelum Ögedei resmi dipilih.
- Ögedei Khan (1229–1241) – Putra ketiga Genghis Khan. Di bawahnya, ekspansi mencapai puncak awal, termasuk penaklukan Eropa Timur dan Persia.
- Töregene Khatun (regent, 1241–1246) – Janda Ögedei, memimpin sebagai wali selama masa transisi.
- Güyük Khan (1246–1248) – Putra Ögedei. Masa pemerintahannya singkat dan penuh ketegangan internal.
- Oghul Qaimish (regent, 1248–1251) – Janda Güyük, memimpin selama perebutan kekuasaan.
- Möngke Khan (1251–1259) – Cucu Genghis dari garis Tolui. Dianggap sebagai Khagan terakhir yang benar-benar memerintah kekaisaran bersatu secara efektif.
- Kublai Khan (1260–1294) – Saudara Möngke. Ia mendirikan Dinasti Yuan di Cina, tetapi masih diakui sebagai Khagan nominal atas seluruh kekaisaran pada awalnya.
Setelah Möngke, persaingan saudara (Toluid Civil War antara Kublai dan Ariq Böke) mulai melemahkan kesatuan, meskipun Kublai menang dan memegang gelar Khagan.
Awal Perpecahan Kekaisaran
Ögedei Khan meninggal mendadak di Karakorum karena kecanduan alkohol berat (dia minum sampai pingsan hampir setiap hari). Kematiannya sangat tidak terduga dan tidak ada pewaris yang sudah ditunjuk secara resmi untuk menggantikannya. Akibatnya, kekaisaran seluas 24 juta km² tiba-tiba tidak punya pemimpin tertinggi.
TöreGene Khatun (istri utama Ögedei yang masih hidup) mengambil alih kekuasaan sebagai Regent (penguasa sementara). TöreGene berusaha memastikan anak sulungnya Güyük yang naik tahta.
Tahun 1246, Akhirnya kurultai diadakan. Batu Khan (pemimpin cabang Jochi, orang paling berkuasa militer saat itu) menolak datang ke kurultai karena takut dibunuh. Güyük terpilih jadi Great Khan. Güyük naik tahta dengan dukungan ibunya, tapi langsung bermusuhan terbuka dengan Batu. Baru 1–2 tahun naik tahta (1246), Güyük sudah mengumpulkan pasukan besar untuk menyerang Batu Khan di barat. Tapi di tengah perjalanan (1248), Güyük tiba-tiba mati (kemungkinan besar diracuni atau karena minum-minum lagi).
Perpecahan besar mulai terlihat setelah kematian Güyük Khan pada tahun 1248. Kematiannya yang mendadak memicu perebutan kekuasaan yang panjang dan sengit. Wangsa Jochi (yang menguasai Golden Horde atau Gerombolan Emas di Rusia dan Eropa Timur, dipimpin oleh Batu Khan) bersekutu dengan Wangsa Tolui (garis Möngke dan Kublai). Aliansi ini mengalahkan garis Ögedei, tetapi juga memperkuat otonomi regional.
Tahun 1250, mereka mengadakan Kurultai (Dewan Agung) sendiri dan secara kontroversial memilih Möngke, melewati para pewaris sah dari garis Ögedei.
Para pangeran dari garis Ögedei dan Chagatai (terutama yang dipimpin oleh Shiremun dari garis Ögedei) menolak mengakui hasil Kurultai tersebut, menganggapnya tidak sah, karena dianggap melanggar tradisi, kurultai seharusnya di Karakorum dan dihadiri semua cabang besar.
Kudeta berdarah Möngke terjadi tahun 1251 (yang membunuh hampir seluruh cabang Ögedei & Chagatai yang masih berkuasa).
Perebutan ini berlanjut hingga kematian Möngke pada 1259, yang memicu perang saudara Toluid (1260–1264). Kublai akhirnya menang, tetapi kekuasaannya hanya efektif di timur (Cina dan Mongolia). Khanate-khanate barat semakin mandiri, menolak otoritas pusat.
Pembagian Menjadi Empat Kekuatan Otonom
Pada akhir abad ke-13, Kekaisaran Mongol secara de facto terpecah menjadi empat khanate otonom yang saling independen, meskipun secara nominal masih mengakui Khagan dari garis Kublai:
- Dinasti Yuan (Cina, Mongolia, Korea) – Dipimpin Kublai Khan dan keturunannya.
- Golden Horde (Rusia, Eropa Timur, Siberia barat) – Dari garis Jochi, dipimpin Batu dan keturunannya.
- Khanate Chagatai (Asia Tengah) – Dari garis Chagatai, putra kedua Genghis.
- Ilkhanate (Persia, Irak, Anatolia bagian) – Dari garis Tolui (Hulagu, saudara Kublai).
Keempatnya beroperasi sebagai negara berdaulat, sering bertikai satu sama lain, dan akhirnya runtuh secara bertahap (Yuan pada 1368, yang lain hingga abad ke-15–16).
Apa Jadinya Jika Kekaisaran Mongol Tidak Terpecah?
Ini adalah pertanyaan spekulatif yang menarik dalam sejarah alternatif. Jika kekaisaran tetap bersatu—misalnya melalui suksesi yang lebih stabil, administrasi terpusat yang kuat, atau penghindaran perang saudara setelah Möngke—dampaknya bisa sangat besar terhadap sejarah dunia:
- Lebih Kuat: Setelah kurultai tahun 1251, terjadi pembersihan berdarah besar-besaran terhadap kubu cabang Ögedei & Chagatai. Ini bukan sekadar "membersihkan saingan", tapi hampir genosida politik terhadap dua cabang keluarga (Ögedei & Chagatai). Secara tidak langsung ini mengurangi kekuatan total dari kekaisaran Mongol.
- Ekspansi Lebih Lanjut: Dengan sumber daya terpadu, Mongol mungkin berhasil menaklukkan wilayah yang gagal di sejarah nyata, seperti Jepang (tanpa badai kamikaze yang berulang), India selatan, Mesir (melawan Mamluk), atau bahkan Eropa Barat lebih dalam. Ini bisa menciptakan kekaisaran global yang mendominasi Eurasia sepenuhnya.
- Ekspedisi Kembali ke Barat (Eropa Timur): Pada masa Ögedei Khan (1229–1241), pasukan Mongol di bawah komando Batu Khan (dari garis Jochi) dan jenderal legendaris Subutai berhasil menaklukkan Kievan Rus', Polandia, dan Hongaria pada 1241–1242. Invasi ini mencapai puncaknya dengan kemenangan besar di Battle of Legnica (Polandia) dan Battle of Mohi (Hongaria). Namun, pasukan mundur secara mendadak pada musim semi 1242 setelah mendengar kematian Ögedei pada Desember 1241. Sesuai tradisi Mongol, para pangeran senior seperti Batu harus kembali ke Mongolia untuk menghadiri kurultai (majelis pemilihan Khan Agung baru). Pada masa Güyük Khan (1246–1248) dan Möngke Khan (1251–1259), tidak ada kelanjutan invasi besar-besaran kembali ke Eropa Timur (atau lebih jauh ke barat) karena adanya Konflik Internal dan Perebutan Kekuasaan yang Intens
- Perkembangan Teknologi dan Perdagangan: Pax Mongolica (kedamaian Mongol) yang lebih panjang akan mempercepat pertukaran budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Jalur Sutra tetap aman, menyebabkan penyebaran bubuk mesiu, kertas, dan kompas ke Barat lebih cepat—mungkin mempercepat Renaissance Eropa atau bahkan Revolusi Industri lebih awal.
- Pengaruh Budaya dan Agama: Mongol yang toleran beragama bisa mencegah kehancuran kota-kota seperti Baghdad (pusat ilmu Islam). Islam, Buddhisme, dan Kristen mungkin berkembang berbeda; mungkin tidak ada Timur Tengah yang terpecah seperti sekarang, atau Rusia tidak bangkit sebagai kekuatan besar tanpa tekanan Golden Horde.
- Dampak Jangka Panjang: Kekaisaran bersatu mungkin bertahan hingga era modern, mengubah peta dunia—mungkin tidak ada Dinasti Ming di Cina, Ottoman di Turki, atau kolonialisme Eropa yang dominan. Namun, tantangan logistik (wilayah terlalu luas) dan resistensi lokal akhirnya bisa tetap menyebabkan kemunduran, tapi lebih lambat.
Pada akhirnya, perpecahan Mongol membuka jalan bagi bangkitnya kekuatan baru seperti Rusia, Persia Safavid, dan Cina Ming. Jika tidak terpecah, dunia hari ini mungkin jauh lebih "Mongol-sentris", dengan Eurasia sebagai pusat peradaban tunggal yang tak terbagi.


